MANUSIA ANEH
“Maka mengapa mereka (orang-orang kafir) berpaling dari peringatan (Allah)? Seakan-akan mereka itu keledai liar yang lari terkejut, lari dari singa” (QS. Al Muddats-tsir [74]: 49-51).
Dalam ayat ini, Allah heran, mengapa orang-orang kafir Makkah menjauhi Nabi, padahal ia mengajarkan keselamatan, bukan kesengsaraan. Allah mengumpamakan tindakan mereka itu dengan keledai liar yang melompat, lari kencang ketika melihat seekor singa di dekatnya. Ia terus berlari, dan tak ada orang yang bisa menghalaunya, padahal singa itu sudah sangat jauh. Itulah tamsil keanehan manusia dalam menyikapi ajaran agama.
Tanpa kita sadari, kita sebenarnya juga manusia aneh. Dalam setiap shalat, kita selalu meminta petunjuk jalan yang benar atau shiraathal mustaqim, tapi kita justru memilih jalan yang bengkok. Sikap ini seperti pengemis yang meminta buah segar, tapi membuangnya setelah diberi. Atau seperti orang yang meminta madu, lalu setelah diberi, madu itu dicampakkan, dan ia justru menenggak racun yang mematikan.
Dalam kitab Nasha-ihul ‘Ibad pada bab “as-sudasy” disebutkan lebih rinci beberapa keanehan tersebut, yaitu:
Ada enam keganjilan dalam kehidupan, yaitu (1) masjid yang kosong di tengah masyarakat, (2) kitab suci Alquran di dalam rumah, tapi tak dibaca, (3) Alquran di mulut orang yang banyak melakukan dosa, (4) suami saleh beristri wanita yang rusak akhlaknya, (5) istri salehah bersuami pria yang zalim dan buruk akhlak, dan (6) ulama yang tidak didengar oleh masyarakatnya.
Kita bersyukur, kita menyaksikan banyak masjid yang dibangun oleh sebuah instansi, perusahaan atau oleh perorangan. Tapi, setelah selesai dibangun, masjid itu terlantar, sepi tanpa kegiatan di dalamnya, sehingga kehilangan daya tarik masyarakat. Bisa juga, masyarakat enggan memasukinya karena kegiatan masjid tidak sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat setempat. Program kerja disusun berdasar impian belaka, tanpa didahului penelitian yang mendalam tentang sosiologi, psikologi, budaya, politik dan paham keagamaan masyarakat sekitar.
Keanehan lainnya terkait dengan Alquran. Gerakan cinta Alquran yang kita dengungkan telah berhasil menggerakkan masyarakat untuk memiliki kitab suci itu. Tapi, setelah dimiliki, Alquran hanya dijadikan identitas kesantrian belaka. Ia diletakkan di ruang tamu, di kantor, atau mobil, dan tidak dibaca secara rutin. Akhirnya, Alquran hanya sebagai asesori atau hiasan, bukan sebagai pedoman.
Ada juga orang yang rajin membaca dan mengutip ayat-ayat Alquran dengan fasih dan menjelaskannya dengan uraian yang menghipnosis pendengar, namun akhlak kesehariannya jauh dari nilai-nilai Alquran yang diajarkannya. Pada era informasi ini, tidak sedikit orang yang menghabiskan waktunya di depan komputer atau HP untuk menjadi “penceramah” baru dengan cara membagikan nasihat-nasihat agama kiriman orang, padahal ia sendiri tidak mengerti, apalagi menjalankannya. Ia tampil dalam media sosial itu seperti ulama besar atau penasihat agama yang ulung dengan narasi atau penjelasan yang logis dan mengesankan. Barangkali inilah jaman yang pernah diprediksi, yaitu lebih banyak pembicara, tapi nihil pengetahuan agama, dan gagal menjadi tauladan bagi masyarakat sekitarnya.
Keanehan lainnya terjadi dalam kehidupan rumah tangga, yaitu rusaknya keimanan dan akhlak suami atau istri, akibat kesalahan memilih pasangan. Suami atau istri yang santri atau taat beragama menjadi “mantan santri” karena pengaruh pasangannya yang lemah iman, bodoh dan rapuh akhlaknya. Tidak ada larangan, orang santri memilih pasangan yang tidak santri, asalkan bisa memengaruhi pasangannya menjadi taat beragama dan berakhlak mulia. Jika berhasil demikian, maka dialah pendakwah bahkan pejuang sejati, dan dialah yang dikagumi malaikat dan dicintai Allah. Tapi, jika gagal, artinya pasangan yang santri luntur kesantriannya akibat pengaruh negatif pasangannya, maka itulah sebuah musibah besar. Lebih baik “mantan preman” daripada “mantan orang beriman.” Juga, “mantan wanita tuna susila” lebih terpuji daripada “mantan wanita pegiat agama.”
Masih ada lagi satu keanehan. Yaitu kiai, ustad, dan tokoh agama lainnya yang tidak didengar nasihatnya oleh orang-orang di sekitarnya, karena gagal menjadi teladan yang terbaik bagi mereka. Ia hanya pandai berseru berjamaah di masjid, tapi ia hanya ke masjid ketika terjadwal sebagai imam. Seakan-akan ia hanya pantas sebagai imam, dan merasa hilanglah kehormatannya jika menjadi makmum, apalagi status sosial si imam saat itu lebih rendah dari dirinya. Tokoh agama tersebut mengajurkan kesabaran dan kesopanan, namun ia terkenal sebagai orang yang kasar terhadap istri dan anak-anaknya. Inilah beberapa ilustrasi mengapa seorang tokoh agama dijauhi oleh lingkungannya.
Oleh: Prof. Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag
Leave a comment